Sejak jaman kolonial Belanda persoalan penguasaan dan kepemilikan tanah menjadi hal yang diperebutkan. Perubahan terjadi di saat keluarnya Agrarische Wet pada tahun 1870, saat itu terbuka peluang bagi dunia usaha swasta untuk ikut menikmati dan mengolah lahan-lahan perkebunan dengan jangka waktu 75 tahun. Hal tersebut berlanjut dimana korporasi swasta juga mendapat keleluasaan lebih luas dalam memperoleh HGU di atas tanah yang dikuasai oleh negara. Manipulasi Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam UUPA yang seharusnya dipandu oleh kewajiban untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan tanah mempunyai fungsi sosial.
Hal tersebut juga terjadi pada 3 desa Kecamatan Anak Tuha, Kabupaten Lampung Tengah, dimana tanah masyarakat semestinya untuk kemakmuran masyarakat, malah diberikan kemakmurannya untuk korporasi. Dalam masyarakat, tanah sangat erat kaitannya dengan kesejahteraan manusia. Peranan negara berfungsi untuk melindungi kehidupan rakyatnya. Seharusnya negara menjamin dan memberikan perlindungan bagi masyarakat adat sebagaimana di atur dalam Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945.
Adanya konflik Sengketa lahan antara warga di 3 desa di Lampung Tengah dan PT Bumi Sentosa Abadi (BSA) di Desa Negara Aji Tua, Kecamatan Anak Tuha, Kabupaten Lampung Tengah. Berawal dari lahan di tiga kampung tersebut dikelola PT Chandra Bumi Kota atas dasar penerbitan HGU selama 25 tahun, kurun waktu 1968-1993. Izin HGU perusahaan itu kembali diperpanjang selama 25 tahun, 1991-2006. Namun, tahun 1990, PT Chandra Bumi Kota diambil alih PT BSA, berikut asetnya berupa lahan singkong dan tebu.
Masyarakat terusir di tanah kelahirannya sendiri, seperti halnya Palestina terusir ditanahnya sendiri oleh Israel sejak tahun 2014 dan semakin memuncak saat PT Bumi Sentosa Abadi (BSA) mengajukan HGU di lahan tersebut untuk kurun waktu tahun 2005-2040.
Saya Panji Nugraha, Ab, S.H ( Panji Padang Ratu) selaku Sekretaris Jendral Laskar Lampung Indonesia berharap Penerbitan HGU harus transparansi dan akuntabilitas sehingga tidak menimbulkan konflik pada masyarakat. Serta saya berhadap ada peran nyata dari pemerintah daerah dalam menyelesaikan dan mengendalikan konflik lahan tersebut guna membahas langkah dan alternatif penyelesaian konflik bersama dengan pihak-pihak yang berkonflik. Serta pemerintah memperjuangkan dan memprioritaskan masyarakat memberikan tanah perkebunan masyarakat sekitar paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari luas tanah yang dimohon HGU, sebagaimana di atur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan HGU.
Opini : Sekretaris Jenderal Laskar Lampung Indonesia Panji Nugraha, AB, SH