Bandar Lampung (MiN) – Pasien delapan tahun divonis mengidap penyakit gagal ginjal dan harus menjalani prosedur cuci darah (hemodialisis) anggap Revisi Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) masuk dalam pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law akan menyengsarakan masyarakat kurang mampu.
Muhammad Arief Alghafiqi Hasan warga Kota Metro, Provinsi Lampung yang telah divonis mengidap penyakit gagal ginjal oleh dokter dan harus menjalani prosedur cuci darah (hemodialisis) untuk mencegah terjadinya komplikasi. Dia menceritakan pengalamannya menggunakan program BPJS Kesehatan yang telah dirasakan selama ini.
“Sejak delapan tahun lalu saya rutin menjalani prosedur cuci darah di rumah sakit untuk menjaga kondisi kesehatan saya, Beruntung saya telah menjadi Peserta BPJS Kesehatan, sehingga seluruh pengobatannya tanpa biaya karena telah ditanggung oleh BPJS Kesehatan,” cetus Arief di Jl. ZA. Pagar Alam, Kelurahan Labuhan Ratu, Kecamatan Kedaton, Kota Bandar Lampung, Jum’at (24/02/2023)
Arief yang juga sebagai Anggota Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia Cabang Lampung memahami biaya pengobatan sakit ginjal sangatlah besar, untuk itu ia berterima kasih atas iuran yang dibayarkan oleh peserta JKN yang telah membantu membiayai seluruh pengobatannya.
“Saya tahu prinsip gotong royong dalam Program BPJS dimana iuran peserta yang sehat akan digunakan untuk membiayai pengobatan peserta yang sakit. Kami sangat berterima kasih, semoga ini jadi ladang pahala seluruh masyarakat yang telah rutin membayar iuran BPJS Kesehatan, Saya jadi punya kesempatan hidup kedua tadinya kalau saya nggak pakai BPJS Kesehatan mungkin saya sudah meninggal dari dulu karena dengan besarnya biaya yang harus saya keluarkan Setiap kali saya cuci darah, Alhamdulillah dengan BPJS Kesehatan ini saya masih diberi kesempatan untuk hidup,” harapnya.
Disisi lain manfaat BPJS Kesehatan yang sangat besar, Arief juga puas dengan layanan dan pemantauan pihak BPJS terhadap Mitranya dalam penanganan pasien secara independen, akan tetapi jika status badan hukum publik bagi BPJS harus dimaknai sebagai bentuk independensi BPJS dalam mengelola jaminan sosial, yaitu bertanggung jawab langsung ke presiden, bukan melalui menteri.
“Kehadiran RUU Kesehatan akan menurunkan kualitas pengelolaan jaminan sosial yang pada akhirnya akan menurunkan kualitas pelayanan dan manfaat jaminan sosial kepada rakyat, Saya harap DPR RI dan Pemerintah mengurungkan niat untuk merevisi UU BPJS di RUU Kesehatan, Jika RUU itu disahkan kemungkinan ada biaya tambahan yang harus saya keluarkan untuk biaya cuci darah, karena saya baca ada pasal yang mengatur tentang biaya tambahan untuk pasien yang tidak ditanggung oleh BPJS,” tambahnya.
Pembahasan rancangan undang-undang (RUU) Kesehatan yang saat ini sedang digodok oleh wakil rakyat di DPR RI, menuai banyak polemik di kalangan pelaku dan pegiat kesehatan. Banyaknya pasal-pasal kontroversial yang tak berpihak kepada rakyat membuat salah satu Pilar FSPMI yakni Jamkeswatch menolak dan meminta Dewan Perwakilan Rakyat untuk menghentikan pembahasan rancangan undang-undang tersebut.
Lebih lanjut menurut Arief bahwa BPJS tersebut mengelola dana masyarakat bukan dana APBN/APBD oleh karena itu pengelolaan dana masyarakat harus terhindar dari intervensi pihak lain termasuk kementerian. Dia menilai, bila pengelolaan dana masyarakat dapat diintervensi oleh Menteri maka akan berpotensi merugikan masyarakat, Sebab dana untuk membayar manfaat jaminan sosial akan terganggu. Ia menilai revisi BPJS dalam RUU Omnibus law akan memangkas keindependensi dan kewenangan BPJS dengan memposisikan direksi dan dewan pengawas BPJS di bawah menteri.
“Ke-Independenan BPJS Kesehatan dapat saya rasakan selama ini dan Setahu saya UU BPJS, Direksi dan Dewas BPJS bertanggung jawab langsung kepada presiden. Direksi maupun dewan pengawas tidak bisa melaksanakan penugasan dari menteri,” jelasnya.
Dikatakan bahwa Pasal 7 ayat (2) RUU Kesehatan menyatakan BPJS bertanggung jawab kepada presiden melalui menteri yaitu melalui menteri kesehatan untuk BPJS Kesehatan dan menteri ketenagakerjaan untuk BPJS Ketenagakerjaan. Dan Pasal 13 ayat (2) huruf a, khusus bagi bagi BPJS Kesehatan wajib melaksanakan penugasan dari Kementerian Kesehatan.
Proses penyampaian laporan pengawasan penyelenggaraan Jaminan Sosial sebagai bagian dari laporan BPJS kepada Presiden harus melalui menteri kesehatan untuk BPJS Kesehatan dan melalui menteri ketenagakerjaan untuk BPJS Ketenagakerjaan, dengan tembusan kepada DJSN. Ketentuan ini diatur di Pasal 22 ayat (2) huruf d RUU Kesehatan.
Proses pemilihan direksi dan dewan pengawas kedua BPJS pun dalam kendali Menteri Kesehatan dan Menteri Ketenagakerjaan, yang diberi kewenangan membentuk panitia seleksi bersama menteri keuangan atas persetujuan presiden. Hal ini diatur dalam Pasal 28 ayat (1) RUU Kesehatan. (Red).