Jalan Inabah Bagi Yang Ingin Berubah : Lapas Narkotika Kelas IIA Pamekasan Gandeng Pondok Pesantren Suryalaya 

0 87

JAWA TIMUR /Mediainformasinetwork – Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Pamekasan menggandeng Pondok Pesantren Suryalaya untuk merehabilitasi pecandu narkotik. Menggunakan metode inabah, dengan menggabungkan ibadah salat, mandi, dan zikir.

“AZAN asar berkumandang, ratusan orang segera mendatangi Masjid Al-Hidayah yang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Pamekasan di Jalan Pembina Nomor 2, Kota Pamekasan, Jawa Timur, Selasa, 4 Mei lalu. Seusai salat berjemaah, tersisa sekitar 30 orang yang masih beriktikaf. Mereka meriung sembari membaca Al-Quran. Salah satunya Hayyi bin Sahri yang paling menonjol sehingga didapuk menjadi mentor dan takmir masjid. “Saya dapat dua bonus sekaligus dari mengikuti program ini, ilmu dan kebebasan,” ujar pria 38 tahun itu, Selasa, 4 Mei lalu.

Rehabilitasi spiritual ini merupakan bagian dari program unggulan lembaga pemasyarakatan tersebut, bekerja sama dengan Pondok Pesantren Suryalaya di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, yang dikenal dengan konsep rehabilitasi narkotik dan obat-obatan terlarang. Menurut Kepala Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Pamekasan Sohibur Rachman, program unggulan lain adalah rehabilitasi sosial dan program kemandirian. “Metode rehabilitasi spiritual ini hampir sama dengan rehabilitasi sosial. Pendekatannya dengan keimanan,” ucapnya saat ditemui di kantornya, Selasa, 4 Mei lalu.

Lembaga pemasyarakatan narkotika ini membina 1.029 narapidana. Tapi tidak semua napi bisa mengikuti program rehabilitasi spiritual tersebut. Menurut Hairul Rasid, Kepala Subseksi Bimbingan Kemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan Pamekasan, peserta rehabilitasi spiritual tahun ini 30 orang. “Mereka disatukan di Blok D, dikhususkan untuk yang mengajukan permohonan bebas bersyarat,” ucapnya. Untuk memohon bebas bersyarat, seorang napi harus sudah menjalani minimal tiga perempat dari masa hukumannya.

Pengurus Pondok Pesantren Suryalaya Cabang Pamekasan yang menjadi pendamping napi dalam program rehabilitasi spiritual ini adalah Ustad Suaidy. Menurut Suaidy, metode yang dipakai adalah inabah, kata bahasa Arab yang berarti “mengembalikan”, dari jalan salah menuju jalan yang diridai Allah. Metode ini terdiri atas serangkaian aktivitas, dari talqin, mandi, salat, hingga zikir yang dikenal sebagai riyadhoh.

Napi baru yang ikut program ini, kata Suaidy, terlebih dulu diminta untuk talqin. Ini seperti pembaiatan. Pembacaan talqin berupa kalimat syahadat dipandu oleh Kiai Thoriq, pemimpin Yayasan Suryalaya Pondok Pesantren Al Kautsar yang beralamat di Jalan Lawangan Daya, Pamekasan. “Talqin ini seperti tahap instalasi oleh PLN (Perusahaan Listrik Negara) kalau kita ingin langganan listrik,” tuturnya. “Setelah itu barulah program riyadhoh dimulai.”

Suaidy mengatakan, saat awal diperkenalkan pada 2015 lalu, program riyadhoh itu dimulai pada pukul 2 pagi. Dimulai dengan mandi tobat, setelah itu dilanjutkan dengan rangkaian salat tobat dua rakaat, salat tahajud 12 rakaat, salat sunat tasbih empat rakaat, dan salat witir tiga rakaat. Yang paling berat adalah salat yang terakhir ini. “Di tiap gerakan salat itu harus membaca zikir tasbih 300 kali. Biasanya ada yang tertidur saat sujud,” ujar Suaidy. Ibadah ini rampung sebelum subuh.

Ritual ibadah dilanjutkan pada pagi hari dengan diawali salat fajar, lalu dilanjutkan dengan salat zuhur, asar, magrib, dan subuh, sesuai dengan waktu. Tiap selesai salat wajib peserta rehabilitasi spiritual akan membaca zikir jahr sebanyak 165 kali dengan bersuara. Setelah itu membaca zikir khofi cukup di dalam hati.

Selain program harian, ada juga yang mingguan, yaitu berupa zikir panjang atau khataman zikir. Tiap bulan juga ada program manaqib, yaitu membaca cerita tentang hikmah dan teladan baik dari ulama terdahulu. “Intinya, metode Suryalaya itu menyibukkan napi dengan zikir dan salat,” kata Suaidy, Senin, 10 Mei lalu. Namun ada sedikit perubahan dalam program itu sejak 2018. Program malam hari dihapuskan sehingga riyadhoh dimulai dari pagi.

Panjangnya ibadah dalam rehabilitasi ini sempat membuat Hayyi, yang mendekam di penjara karena kasus narkoba sejak 2018, sempat berpikir panjang untuk mengikutinya. Dia khawatir keikutsertaannya bisa membebani pikiran. Namun, setelah ikut, yang dirasakan malah kebalikannya. “Saya lebih khusyuk beribadah, lebih rajin salat, dan hati lebih tenang,” ucap Hayyi yang ditemani penjaga lembaga pemasyarakatan.

Untuk program rehabilitasi sosial, jumlah pesertanya lebih banyak. Menurut Sohibur, tahun ini ada 240 peserta, lebih sedikit dari tahun lalu yang mencapai 700 peserta. Napi yang mengikuti rehabilitasi sosial ini adalah yang belum pernah menjalani program rehabilitasi. Programnya dilaksanakan dari bangun tidur sampai penutupan blok di sore hari. “Tujuannya agar mereka sibuk dan tidak kepikiran untuk pakai narkoba lagi,” Hairul menambahkan.

Menurut Hairul, rehabilitasi sosial ini mengutamakan penggunaan terapi komunitas untuk pulih dari kecanduan narkoba. Metodenya mengadopsi cara yang dipakai oleh Badan Narkotika Nasional. Untuk konselor dalam program rehabilitasi sosial, lembaga pemasyarakatan menggandeng Ghana, organisasi sosial yang berfokus pada rehabilitasi pecandu narkoba. Kerja sama ini bertujuan membantu konselor di lembaga pemasyarakatan yang cuma tiga orang.

Warna binaan sedang mengaji di Masjid Alhidayah, Lapas Narkotika Kelas IIA Pamekasan, di Pamekasan, Jawa Timur.

Farid, 32 tahun, asal Bandung, adalah salah satu napi yang ikut program rehabilitasi sosial. Dia ikut program ini sejak dua bulan lalu. Metode yang dipakai salah satunya terapi komunitas, yakni saling berbagi dan memperlakukan sesama peserta seperti keluarga. Salah satu bentuk kegiatannya, napi mencurahkan masalah yang dihadapinya. “Kadang kita bisa bantu memecahkan masalah orang lain, meski tak bisa menyelesaikan masalah sendiri,” ucap Farid saat ditemui di sela-sela kelas rehabilitasi.

Dikutip dari Tempo saat berkunjung berkunjung, di kelas rehabilitasi sosial itu sedang berlangsung materi terapi kelompok. Kelasnya berada di Blok C lantai II. Ruang itu awalnya adalah kamar tahanan yang kemudian disulap menjadi kelas. Kelasnya diberi nama tokoh Madura, seperti Sakera dan Trunojoyo. Dalam sesi itu, tiap peserta diminta menyampaikan uneg-uneg yang mengganjal pikiran. Selain rangkaian kegiatan itu ada terapi keagamaan. Suaidy yang mengisi sesi keagamaan tersebut.

Rusdianto, Manajer Ghana, mengatakan masalah yang paling banyak dihadapi warga binaan adalah nasib keluarga setelah mereka tertangkap. Pekerjaan juga otomatis hilang, padahal tanggungan keuangan tetap berjalan. Ada juga soal keluarga yang enggan mengurus cuti atau pembebasan bersyarat napi. “Kami mencoba mengatasi ketergantungan pada narkobanya lewat terapi psikologi, kejiwaan, dan terapi psikososial. Agar mentalnya bagus dan setelah bebas tidak mudah terpengaruh lingkungan,” tuturnya.

Petugas Lembaga Pemasyarakatan Pamekasan melihat ada sejumlah perubahan langsung pada napi yang mengikuti program rehabilitasi sosial ini. “Mereka jadi lebih sopan, menghargai petugas, dan lebih mudah diatur. Keadaan di selnya juga lebih rapi, tidak ada sampah berserakan,” kata Sulistyo, salah satu petugas Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Pamekasan.

Suaidy mengaku tidak mudah mengukur efektivitas program rehabilitasi spiritual ini. Namun dia kerap mendapat kabar dari alumnus program rehabilitasi yang sudah di luar penjara yang mengaku masih menerapkan ritual seperti yang dilakukan selama di penjara. “Ada bekas warga binaan dari Jember dan Sidoarjo yang masih mengerjakan ibadah yang dipelajari semasa di penjara,” ujar Suaidy.

Ada pula napi peserta rehabilitasi spiritual yang kambuh setelah lepas dari penjara. Suaidy mendengar kabar itu dari napi lainnya. Ada satu napi yang ditangkap lagi beberapa bulan lalu karena ketahuan menjual narkoba. Sebenarnya dia sudah berhenti nyabu cukup lama, tapi dia berdalih sulit mencari pekerjaan saat pandemi Covid-19 sehingga menjual narkoba lagi. “Pada akhirnya tergantung niatnya. Namun berhasil-tidaknya sepenuhnya bukan tanggung jawab kami,” ujarnya.

Lembaga Pemasyarakatan Pamekasan menyadari bahaya dan potensi napi untuk kembali ke kebiasaan semula. Salah satu antisipasi yang dilakukan adalah memperketat pintu masuk lembaga pemasyarakatan. Lembaga pemasyarakatan yang dibangun sejak 2010 hingga 2015 dengan menelan biaya Rp 94 miliar itu memiliki dua bangunan utama. “Pegawai saya tidak boleh pegang handphone. Kami berkomunikasi lewat handy talky,” kata Sohibur.

Penjagaan di lembaga pemasyarakatan ini juga ketat dan berlapis. Setelah melewati pintu penjagaan utama, petugas akan memeriksa kartu identitas semua pengunjung. Mereka juga harus memasukkan barang bawaannya di jalur pemeriksaan sinar-X. Di Setiap pos, pengunjung akan difoto. Sebelum masuk ke area utama lembaga pemasyarakatan, ada satu pos pemeriksaan lagi dan mereka kembali difoto.

Pada 2015, Lembaga Pemasyarakatan Pamekasan sempat menjadi sorotan saat Satuan Narkoba Kepolisian Resor Sampang menangkap bandar sabu-sabu. Hasil penyelidikan polisi, transaksi ini diduga dikendalikan oleh seorang napi di penjara ini. Setelah itu, pengetatan dilakukan. Pada 23 Februari lalu, petugas lembaga pemasyarakatan bisa menggagalkan masuknya 9,43 gram narkoba yang disamarkan sebagai rokok di tempat sampah area parkir kendaraan.

Sohibur menegaskan, dia menerapkan prosedur standar operasi secara ketat untuk masuk penjara. “Itu untuk mengurai benang kusut yang selama ini selalu didengar publik bahwa penjara adalah sarang narkoba. Itu tidak benar,” ucapnya. Menurut dia, sangat penting menjaga integritas petugas agar tak goyah oleh bujuk rayu napi. Salah satunya dengan saling mengingatkan. “Dan yang utama, kita harus menjadi role model. Insya Allah jajaran kita juga akan baik,” ujarnya.(Riski)

Leave A Reply

Your email address will not be published.